Powered By Blogger

Selasa, 23 November 2010

JILBAB, Dipakai, Terus Kok Besoknya Ngga Pakai Lagi?!!?

 Busana muslimah tidak hentinya menjadi berita. Di negeri barat sekuler fanatik, muslimah musti berjuang ekstrakeras dan tidak jarang harus melalui pengadilan untuk bisa memakai jilbab. Jilbab dianggap simbol agama, yang tidak semestinya dipakai di ruang publik. Kalau mau memakainya, cukup di rumah atau saat beribadah. Pascaperistiwa 11 September 2001, pemakai jilbab bagi wanita, jubah dan jenggot bagi kaum lelaki juga dicurigai terkait terorisme.

Sayangnya di negara mayoritas muslim seperti Indonesia, pemakaian jilbab juga tidak mulus. Kita tentu masih ingat di era orde baru, betapa banyaknya siswi berjilbab menjadi korban kebijakan sekolah, yang atas nama uniformitas tidak mengakui eksistensi jilbab. Kini di era reformasi kondisinya sudah banyak berubah. Pemerintah melalui sekolah, umumnya sudah menoleransi pemakaian jilbab, meskipun secara kasuistik masih ada lembaga pendidikan dan instansi yang mempersoalkannya.

Di banyak perusahaan swasta, khususnya supermarket, dealer kendaraan bermotor, karyawati berjilbab kelihatannya belum mendapat tempat. Tidak itu saja, oleh perusahaan --termasuk yang mengerahkan sales girl- sepertinya ada tuntutan agar mereka memakai rok di atas lutut, supaya paha yang dianggap sebagai salah satu daya tarik konsumen bisa kelihatan. Tak heran, karyawati yang fanatik pergi dan pulang pakai jilbab, tapi di tempat kerja terpaksa
dilepas. Sebuah fenomena yang cukup mengharuskan, saat ini sejumlah sekolah umum di Banjarmasin seperti SMP dan SMA juga memberlakukan jilbab bagi siswinya, meski jilbab dimaksud belum begitu ideal. Ini karena dalam manajemen pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat, sekolah diberi kewenangan mengatur pakaian seragam siswa yang bersinergi dengan nilai sosio-religius yang hidup di lingkungan masyarakat setempat.

Kelihatannya memang terjadi lompatan kemajuan signifikan sosialisasi jilbab dalam sepuluh tahun terakhir. Ini dipicu pula oleh penampilan sejumlah artis beken yang ikut menyosialisasikan jilbab ke tengah khalayak. Inneke Koesherawati, Marissa Haque, Dewi Hughes adalah beberapa di antara artis Jilbabwati yang semakin populer karena komitmennya terhadap jilbab. Menyusul pendahulunya seperti Ida Royani, Ida Leman, Dewi Yull atau peragawati Ratih Sanggarwati. Artis ini bukannya tenggelam setelah berjilbab, seperti dikhawatirkan beberapa kalangan, tapi namanya tetap berkibar dan rezekinya terus mengalir deras.

Tampilnya artis di garda terdepan dalam pemakaian jilbab, patut disambut gembira. Seperti dikomando, di masyarakat kegandrungan terhadap busana muslimah, termasuk jilbab semakin menguat. Meski jilbab mereka belum begitu ideal, karena cenderung jilbab model dan jilbab gaul, paling tidak sudah mendekati target ideal. Sayang, pemakaian jilbab di kalangan sementara artis belum konsisten. Seperti banyak diberitakan di acara infotainmen, sejumlah artis baru-baru ini nekat menanggalkan jilbabnya, setelah sekian tahun mengakrabinya. Tya Soebiyakto dan Trie Utami adalah di antara artis yang disorot. Banyak publik menyesalkan inkonsistensi mereka terhadap jilbab. Namun ada yang mencoba berhipotesis, bahwa penanggalan jilbab tersebut boleh jadi karena Tya dan Trie baru bercerai dengan suaminya. Tetapi hipotesis ini tertolak, karena Dewi Hughes dan Cheche Kirani atau Dewi Yull yang juga bermasalah dalam rumah tangganya justru tetap konsisten dengan jilbab.

Konversi Agama Melengkapi keprihatinan publik, ada pula ustadz muda yang sangat menyayangkan inskonsistensi artis memakai jilbab. Menurut ia, hal ini dikhawatirkan termasuk kategori mempermainkan ajaran agama. Agama seolah jadi sekadar pakaian, bisa dikenakan dan ditanggalkan sewaktu-waktu. Saya memaklumi keprihatian publik terhadap masalah ini.

Bagaimana pun artis adalah publik figur, sehingga sikap dan cara berpakaian mereka sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi, masyarakat kita termasuk filming society, masyarakat yang suka menonton film, iklan dan sinetron di televisi, membaca majalah hiburan dan sejenisnya, lantas menirunya. Suka atau tidak dan terlepas dari berbagai kontroversi, artis dapat dijadikan sebagai iklan Islam. Tidak hanya di bulan puasa artis ramai-ramai berdakwah, tetapi juga dalam keseharian mereka.

Kalangan ahli sosiologi agama, membagi konversi dalam dua macam. Pertama, change from one state, dan kedua, change from one religion to another. Yang pertama adalah berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain, namun tetap dalam agamanya. Artis muslimah yang dulunya senang buka-bukaan, lantas memakai jilbab atau sebaliknya, termasuk kategori pertama. Rhoma Irama yang dulu produktif dengan lagu cinta, lalu berubah ke tema dakwah. Motenggo Bosye yang di kala mudanya produktif dengan novel cinta dan agak porno, tetapi di akhir hayatnya justru beralih ke novel sufistik, juga masuk di sini. Sedangkan artis nonmuslim yang masuk Islam, seperti WS Rendra, Ray Sahetapy, Cindy Claudia Harahap, Dewi Hughes, Marini Zumarnis, Tamara Bleszinsky, Lulu Tobing, dan masih banyak lagi, tergolong konversi agama jenis kedua. Begitu pula Nafa Urbach yang masuk Islam lalu konon balik lagi ke agama semula, juga masuk golongan ini.

Tetapi apa pun jenisnya, para ahli menyatakan konversi tidak berdiri sendiri. Beberapa variable dominan itu terjadi karena:

a) pengaruh supernatural berupa hidayah Allah, pengetahuan, penyelidikan, perenungan, sehingga seseorang menemukan cahaya kebenaran;

b) pengaruh eksternal dari pergaulan, kegiatan rutin, anjuran teman, pengaruh pemimpin keagamaan, kolega dan teman prpfesi;
c) faktor internal seperti keretakan dan permasalahan dalam keluarga, perubahan status perkawinan, pekerjaan dan sejenisnya. Jadi masalah dalam keluarga, seperti perceraian, hanya salah satu variable yang tidak begitu dominan.

Bukan Jilbab Hati Terhadap tarik ulur pemakaian jilbab ini akan lebih baik bila kita menyikapinya secara arif dan bijaksana. Bagi yang mau berjilbab, kita ucapkan selamat dan terimakasih, karena ia mengamalkan sebagian agamanya.

Wanita berjilbab tidak hanya menyelamatkan dirinya sendiri, tapi juga orang
lain. Tersalurnya hasrat lelaki secara liar dan merebaknya fantasi syahwat mereka, justru karena memandang wanita yang suka membuka aurat. Wanita jangan menyalahkan lelaki dalam soal ini, sebab 'dari sononya' lelaki ditakdirkan menyenangi wanita (QS 3: 14). Kalau lelaki tidak lagi menyenangi wanita, itu justru abnormal seperti menimpa kaum Nabi Luth di negeri Sodom,
dan itu sangat terkutuk.

Agama seseorang lebih selamat bila ia konsisten berjilbab. Seperti diberitakan sebuah media, gara-gara memakai jilbab seorang wanita bersama keluarganya urung termakan makanan haram di sebuah res toran di Jakarta. Melihat si wanita berjilbab, pelayannya yang jujur menyatakan bahwa makanan yang dipesan mengandung unsur haram. Lantas si ibu bertanya kepada pelayan, bagaimana kalau pembelinya tidak berjilbab. Dijawab, itulah susahnya, sulit
diketahui mana yang muslim dan non muslim.

Bagi yang belum berjibab, diharapkan suatu saat mau berjilbab Karena hal itu adalah merupakan kewaiban yang harus dilakukan bagi semua wanita yang beragama Islam. Perlu dicegah adalah adanya anggapan miring terhadap pemakaian jilbab. Katanya, biar tidak berjilbab, yang penting sudah memakai jilbab hati, yaitu berhati baik dan berakhlak terpuji. Daripada berjilbab tapi perilakunya buruk. Anggapan begini perlu diluruskan.

Jilbab hati sesungguhnya tidak ada, yang ada jilbab dipakai untuk menutup aurat. Biar hatinya baik kalau aurat terbuka, ia masih berdosa besar. Alangkah anggunnya bila wanita yang baik hatinya sekaligus berjilbab. Memang tidak sedikit wanita berjilbab tetapi masih berperilaku amoral, itu adalah perilaku kaum wanita yang sama sekali tidak mengerti tentang ilmu agama Islam dan kebanyakan mereka yang berperilaku seperti ini adalah mereka yang memakai jilbab gaul, mereka memakai jilbab hanya agar tampil lebih cantik, menutupi rambutnya yang keriting, atau menutupi kecacatan-kecacatan lainnya yang mereka anggap dapat merendahkan “nilai” mereka dihadapan kaum pria, atau juga memakai jilbab karena paksaan dari orang tua atau hal-hal lain yang tidak bersumber dari Hidayah Allah Swt, melainkan bersumber dari nafsu syahwat mereka agar bisa tampil lebih menarik di hadapan kaum lelaki. Na’udzubillah, sungguh ini perbuatan syetan yang terkutuk!!!

Jilbab bukan simbol, tapi identitas dan tuntutan agama. Ada pun hati (qalbu) memang perlu ditata lebih baik agar melahirkan perilaku terpuji, dan ini memerlukan waktu yang lama.

Mengacu kepada teori konversi, kesadaran dan komitmen memakai jilbab erat kaitannya dengan faktor eksternal. Karena itu, para orangtua hendaknya menyuruh anak wanitanya dan para suami hendaknya menyuruh istrinya menutup aurat, jangan menyuruh mereka memakai jilbab gaul, suruhlah mereka memakai jilbab yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw kepada istri-istrinya, sesungguhnya istri-istri Rasulullah Saw adalah sebaik-baiknya teladan bagi kaum wanita. Patut disesalkan, karena ternyata tren buka-bukaan dan pakaian ketat yang mewabah selama ini, tidak hanya kehendak si wanita, tapi justru ditoleransi bahkan disuruh oleh orangtua atau suaminya.
  Adapted: www.TheJihads.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar